sam vo manamsi janatam,
deva bhagam yatha purve
samjananam upasate
samani va akutih samana hrdayani vah
samanam astu vo mano yatha vah
susahasati
Rg Veda X 191.2,4.
MAHATMA Gandhi menyatakan salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi.
? Citra Politik
MAHATMA Gandhi menyatakan salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi.
? Citra Politik
Pemikiran bahwa politik itu kotor,
akal-akalan, tipu muslihat, licik, serta kejam dalam mencapai suatu
tujuan, hingga kini masih dianut oleh sebagian orang. Politik dan tentu
saja para politikusnya, seringkali didentikkan dengan wilayah
pragmatisme dan oportunisme yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri
atau golongan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mencapai
tujuan itu dapat dihalalkan segala cara.
Pandangan yang banyak diilhami oleh pemikiran politikus asal Italia
Nicollo Machiavelli ini, beranggapan tujuan utama dalam berpolitik
adalah mengamankan kekuasaan yang sudah dipegang. Politik dan moralitas
bagi kaum Machiavellian merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada
hubungan satu dengan yang lain. Kekuasaan bagi mereka bersifat sekuler
yang tak memiliki kaitan dengan dunia spiritual.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi tampaknya
memahami hakekat politik secara sempit dan konservatif. Politik
dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol
dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan
eksekutif, kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi
“terhormat” dalam masyarakat. Di samping itu, terjun ke “dunia” politik
dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa syarat
pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang
politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar
terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai
“penyambung lidah” dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral
sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji kampanyenya
setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa,
sinis dan skeptis dengan politik. Dalam khasanah ketatanegaraan,
kondisi ini menghambat munculnya pemimpin ideal yang sesuai harapan
rakyat. Pemimpin dari kalangan politisi yang dihasilkan belum mampu
memberikan pengayoman, ketenangan dan panutan bagi rakyat karena lebih
banyak mengurus kepentingan partai daripada memikirkan alternatif
kebijakan publik. Isu-isu krusial seputar kebutuhan pokok (basic needs),
seperti: pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan belum banyak
disentuh dan dimasukkan dalam agenda kebijakan.
Begitu pula, dialog dari hati ke hati secara intensif dalam
memformulasikan kebijakan, baik antara sesama politisi atau parpol
nyaris tidak berjalan mulus, kecuali ada kesamaan kepentingan temporer
yang lebih besar. Kondisi “anomali” ini mengandung resiko yang oleh
Erich Fromm disebut gejala konflik laten di bawah kedok kebersamaan. Hal
ini praktis telah menggeser sendi-sendi toleransi dan kebersamaan dalam
kehidupan politik. Lawan politik dilihat sebagai segmen yang terpisah,
bukan sebagai kesatuan yang utuh lagi. Cara pandang ini mengakibatkan
makin hidupnya sistem persaingan tak sehat antar caleg atau parpol dan
semakin memudarkan kesediaan untuk dapat saling menerima.
? Etika dan Moralitas
Dalam kondisi seperti itu,
prinsip-prinsip etika dan moral menjadi terabaikan. Giovanni Sartori
pernah mengemukakan tiga tindakan politik negatif yang paling mutakhir.
Berturut-turut adalah hilangnya etika–khususnya etika pelayanan bagi
rakyat, terlalu banyaknya uang yang menggoda para penguasa dan terlalu
mahalnya biaya politik hingga proses politik kian sulit dikendalikan.
Svami Sathya Narayana (Wacana Mutiara: 69-70) menyayangkan bahwa para
pelajar yang murni, lembut dan baik diresahkan, dicemaskan dan dirusak
oleh beberapa pemimpin politik untuk mencapai tujuan-tujuan egois
mereka. Politik itu sendiri baik, tetapi tidak baik untuk para pelajar.
Kehidupan politik lebih baik diikuti setelah para pelajar tamat sekolah.
Oleh karena itu, seseorang yang akan berkecimpung di dalam kehidupan
politik perlu menetapkan prinsip-prinsip dasar sebagai nilai ideal yang
selalu disertakan dalam menetapkan cita-cita, memilih strategi, membuat
keputusan dan dalam mengambil tindakan-tindakan nyata untuk kemajuan
bersama. Prinsip dasar tersebut akan menumbuhkan dimensi etika dan moral
pada pelaksanaan tugas dan kewajiban kepada masyarakat, bangsa dan
negara dengan memberikan apa yang terbaik untuk kesejahteraan
masyarakat.
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan
kejahatan (Teichman, 1998). Etika politik, dengan demikian, memiliki
tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya.
Standar baik dalam konteks politik bagaimana politik diarahkan untuk
memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada
kepentingan yang sangat pribadi dan golongan tertentu, itu politik yang
tak beretika. Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan
terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat mendasar yang
perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang
berbasis etika dan moralitas.
Ketidakjelasan secara etis berbagai
tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini
mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai
komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak
wajah hukum, budaya, pendidikan dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini
membuat wajah masa depan bangsa ini semakin kabur. Sebuah kekaburan yang
disebabkan karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.
Rakyat hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi
belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang
membuat rakyat terajari agar menerapkan orientasi hidup serba instan
melalui berbagai bentuk simulakrum politik lewat kegiatan simakrama,
dharma swaka dsb. Batas antara kebenaran dan kewajaran dikaburkan oleh
keinginan dan kepentingan yang tak terbatas. Dalam Kakawin Nitisastra
(Sargah XIII:9 Wirama Sardulawikridita) dinyatakan:
Ring wwang wastung iweh hinuttama, hane dehanya nityaneneb, sangkeng lobhanikangalap guna, muwah ring harsa tan kagraha, yekangde hilanging sakawruhika, ring purwatemah wigraha, nda tan kagraha rakwa teki, wekasan sirnabalik nirguna.
(Pangkal kesulitan yang terbesar bagi manusia tersembunyi dalam dirinya sendiri/ Nafsu loba menyebabkan orang tak dapat mencapai kebaikan yang dicita-citakan/ Itu pula yang menyebabkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sejak lama hilang/ Kemudian tidak dapat dicari akhirnya habis tanpa meninggalkan bekas/)
Ring wwang wastung iweh hinuttama, hane dehanya nityaneneb, sangkeng lobhanikangalap guna, muwah ring harsa tan kagraha, yekangde hilanging sakawruhika, ring purwatemah wigraha, nda tan kagraha rakwa teki, wekasan sirnabalik nirguna.
(Pangkal kesulitan yang terbesar bagi manusia tersembunyi dalam dirinya sendiri/ Nafsu loba menyebabkan orang tak dapat mencapai kebaikan yang dicita-citakan/ Itu pula yang menyebabkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sejak lama hilang/ Kemudian tidak dapat dicari akhirnya habis tanpa meninggalkan bekas/)
Oleh karena itu dalam kitab Arthasastra ditegaskan bahwa seorang
pemimpin berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi rakyatnya. Menurut
Kautilya, penulis buku ini, pemimpin harus berprinsip lebih banyak
menyediakan waktu untuk rakyat. Ia harus bisa membagi waktu: 4 jam untuk
istirahat, 3 jam untuk makan dan hiburan, serta selebihnya diabdikan
kepada rakyat. Jadi, seorang pemimpin harus rela mengorbankan sebagian
besar waktunya untuk melayani kepentingan rakyat.
Beberapa prinsip moral yang harus dipegang agar menjadi pemimpin yang baik menurut Svami Sathya Narayana adalah dimilikinya karakter individu (pribadi) dan karakter nasional. Dengan melepaskan kepentingan pribadi, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, pemimpin sejati harus mempersembahkan segala kemampuannya bagi kesejahteraan bersama dan mengangkat reputasi negaranya.
Beberapa prinsip moral yang harus dipegang agar menjadi pemimpin yang baik menurut Svami Sathya Narayana adalah dimilikinya karakter individu (pribadi) dan karakter nasional. Dengan melepaskan kepentingan pribadi, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, pemimpin sejati harus mempersembahkan segala kemampuannya bagi kesejahteraan bersama dan mengangkat reputasi negaranya.
? Lima Pilar Utama
Diperlukan lima pilar utama bagi
pemimpin sebagai persiapan melakukan pelayanan (seva) tertinggi bagi
rakyat dan negara. Pertama, sathya, memegang teguh kebenaran dan
berusaha terus-menerus memperjuangkannya, betapa pun pahitnya. Dalam
mengungkapkan kebenaran hendaknya bisa menimbulkan kebaikan bersama, dan
tidak mencelakakan serta mengorbankan pihak lain. Kebenaran yang
dipraktikkan dengan cara itu akan dapat mengatasi sekat-sekat perbedaan
parpol, ideologi bahkan keyakinan.
Kedua, dharma, menerapkan kebajikan tanpa memperhitungkan kepentingan
sendiri atau golongan, serta menggunakan tubuh dan pikiran untuk
kebaikan orang banyak. Sariram Aadyam Khalu Dharma Saadhanam. Tubuh dan
pikiran terutama ditujukan untuk pencapaian jalan kebajikan. Tubuh dan
pikiran harus melakukan bermacam-macam fungsi demi kebaikan masyarakat,
bangsa dan negara.
Ketiga, shanti, menumbuhkan kedamaian setiap saat yang terpancar dari kesadaran akan realitas di dalam diri. Keadaan ini merupakan manifestasi dari sat, keberadaan murni dari jiwa, karena kedamaian sendiri melampaui pemahaman. Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa menghasilkan kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan “madhura-ananda” atau kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
Ketiga, shanti, menumbuhkan kedamaian setiap saat yang terpancar dari kesadaran akan realitas di dalam diri. Keadaan ini merupakan manifestasi dari sat, keberadaan murni dari jiwa, karena kedamaian sendiri melampaui pemahaman. Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa menghasilkan kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan “madhura-ananda” atau kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
Keempat, prema, memupuk cinta kasih murni tanpa ego. Bisa mengatasi
kepicikan di dalam diri dan mengidentifikasikan diri dengan golongan
lain dalam satu kesatuan. Politisi yang memiliki cinta kasih bagi yang
lain, dengan berpegang pada kebenaran, dan membaktikan dirinya untuk
kebaikan orang lain, dialah pelayan rakyat yang sebenar-benarnya.
Kelima, ahimsa, pantang menggunakan cara-cara kekerasan. Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, caleg atau politisi dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas, inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan.
? Penutup
Kelima, ahimsa, pantang menggunakan cara-cara kekerasan. Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, caleg atau politisi dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas, inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan.
Dengan kelima pilar utama dan
prinsip-prinsip moral itu, kita berharap akan semakin banyak lagi caleg
atau politisi yang kelak akan menjadi pemimpin baik serta berpihak pada
rakyat. Mereka yang menata dirinya secara inklusif, mengedepankan
penerimaan tanpa diskriminasi, serta menghindari persaingan yang memicu
konfik politik. Salah satu hymne dalam kitab Rg Veda telah
mengisyaratkan pentingnya rasa kebersamaan itu. Sam gacchadhvam, sam
vadadhvam, sam vo manamsi janatam.
Berkumpullah, berdiskusilah bersama, buatlah pikiranmu bersatu padu.
Dengan pikiran yang bersatu padu itu akan bisa menumbuhkan keyakinan
yang sama. Sebab,Di mana ada keyakinan, di sana ada cinta kasih,
Di mana ada cinta kasih, di sana ada kedamaian,
Di mana ada kedamaian, di sana ada kebenaran,
Di mana ada kebenaran, di sana ada Tuhan,
Di mana ada Tuhan, di sana ada kebahagiaan.
(Diskursus Sathya Sai Baba, 21-11-1999)