GUS DUR DAN MASALAH PAPUA

(SEBUAH REFLEKSI GUSDURian: Wahid Institute, Jumat, 6 Des 2012)
Ahmad Suhendra[*] 

umat diterapkan pula dalam kepemimpinan beliau di istana. Contoh kecil adalah istana yang semula dianggap ‘angker’ dengan kesehajaan beliau istana menjadi ‘rumah’ bagi semua rakyat Indonesia, dari mulai kiai, santri, sampai orang kampung. Memang semestinya demikian, Istana bukanlah milik presiden tetapi milik rakyat.
Sebagai seorang hamba yang sangat peduli dengan masalah kemanusiaan, beliau sangat membela kaum minoritas dan tertindas oleh penguasa atau sekelompok lain yang mayoritas, tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras dan kelas sosial.
Papua Masa Pemerintahan Gus Dur
Saat Gus Dur menjadi Presiden Papua lebih bergejolak dan parah dibanding sekarang. Namun, dengan kepemimpinan beliau yang menjadikan aspek kultural sebagai pendekatan, masyarakat Papua dapat mengurungkan niatnya untuk merdeka. Bahkan, banyak bendera bintang kejora yang dikibarkan pada saat itu, tetapi aparat tidak melakukan tindakan kekerasan seperti saat ini.
Maksud dari tidak terlalu dilarangnya pengibaran Bintang Kejora adalah untuk tidak mengsakralisasi simbol kebudayaan masyarakat Papua. Secara antropologis, Bintang Kejora memang merupakan simbol kebudayaan masyarakat adat yang berada di Papua. Apakah akan mengganggu kebhinekaan Indonesia jika mereka h
anya ingin mengibarkan identitas kultural masyakat Papua. Justru, ketika pelarangan pengibaran bendera Bintang Kejora, mereka a

an mensakralkan simbol tersebut.
Selain itu, dalam kabinetnya Gus Dur juga membentuk Menteri Penangan Indonesia Timur, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah sosial di wilayah timur Indonesia, khusunya Papua atau dulu be
rnama Irian Barat. Kementrian yang dibentuk Gus Dur ini dinilai efektif dalam meredam ‘api’ kekecewaan masyarakat timur Indonesia, khususnya Papua. Dengan gaya kepemimpinan yang santun, sederhana, tapi tegas Gus Dur dianggap ‘penyelamat’ oleh masyarakat Papua. Bahkan, ketika perayaan haul beliau, tokoh-tokoh adat di Papua datang ke Jakarta untuk melaksanakan prosesi/upacara adat kepada beliau yang diwakili oleh anak kedua beliau, Yenni Wahid.
Upacara adat itui dimaksudkan bahwa Gus Dur dan keluarganya sudah diikat dalam masyarakat Papua. Jadi, Gus Dur dan keluarga sudah dianggap sebagai masyarakat papua atau keluarganya sendiri oleh para tokoh adat Papua. Begitu terhormatnya Gus Dur di mata masyarakat Papua, sekali lagi bagi mereka Gus dur adalah juru penyelamat. Itulah model kepemimpinan ala Gus Dur yang semestinya dilakukan juga oleh presiden dan pemerintah daerah sekarang. Namun, kita menyaksikan pemerintah saat ini melupakan, jika tidak dikatakan meninggalkan, pendekatan kultural yang dicontohkan Gus Dur pada saat itu. Pendekatan kultural ini terbukti lebih efektif dan tepat untuk menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat, terutama masalah Papua. Pendekatan kedua, adalah pendekatan agama, pendekatan ini semestinya menjadi win-win solution, tetapi agama selalu ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi. Sehingga banyak kisruh yang mulanya masalah keluarga, masalah sengketa tanah, dan masalah sosial lainnya dibesar-besarkan atau yang muncul kepermukaan wacana adalah masalah agama.
Ungkapan terakhir, selamat Jalan Gus, dan Engkau memang Makhluk Tuhan, yang tidak ‘merebut’ Kekuasan-Nya, engkau hanya menjalankan apa yang diperintah-Nya, yakni sebagai pengayom dan pembela kemanusiaan.
Doa dan harapan ini terus dibangun untuk membangun masyarakat Indonesia yang lebih bermartabat.
[*] Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan  GUSDURian (pamula).
pernah dipublikasikan dalam:

https://www.facebook.com/notes/ahmad-el-bughury/mengkaji-gus-dur-perspektif-orang-papua-sebuah-refleksi-gusdurian/10150505567871112

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BLOG' 'E MIFTAKHURROKHIM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger